Selasa, 25 November 2008

Siapa yang Berhak Mendapat Kekuasaan

Suatu hari si Bilqis curhat dengan seorang kyai yang pandai dalam ilmu theology, apa coba yang dia curhatkan? “Ustadz aku sudah tidak kuat lagi nih, hubunganku dengan suamiku kayaknya sudah tidak bisa diperbaiki lagi, apakah aku bisa menceraikan diriku sendiri, kalau bisa, apakah hokum cerai yang dilakukan olhku sah menurut agama? Ucap Bilqis pada sang Kyai. Terus sang Kyaipun menjawab dengan nada yang lembut dan penampilanpun sangat wibawa sehingga sang penanyapun tidak berani bertingkah laku yang tidak sopan di hadapanya” sesungguhnya yang berhak melakukan tholaq adalah sang suami, karena beberapa hal sebagai berikut:



pertama, Alloh swt itu menjadikan seorang laki-laki lebih kuat dibandingkan wanita dengan sebab potensi yang dia miliki dan kemampuanya yang melebihi wanita dan juga tanggung jawab yang diberikan kepada laki-laki dimana dia harus membayar mahar untuknya dan wajib mencari nafkah untuk sang istri, sebagaimana yang telah Alloh ucapkan dalam kitab-Nya: ”kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Alloh telah melebihkansebagian mereka(laki-laki) atas sebagian yang lain(wanita), dank arena mareka(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta wanita”.(Qs. An-nisa :34),

setelah melihat ayat tadi sudah jelas bahwa tanggung jawab dan kekuasaan lebih di pegang oleh laki-laki dalam lingkup rumah tangga,jika berkenan untuk terus menjalankan ikatan rumah tangga, maka terus lanjut, tapi kalau suami pengin menceraikan istrinya maka hak dia untuk menceraikanya. Kedua, Alloh telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka dst”(Qs. Al-ahzab :49) dan juga berfirman: “apabila kamu menolak istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang bagus, atau ceraikan mereka dengan cara yang bagus juga(Qs. Al-baqoroh :231) sekiranya Alloh menjadikan tholak itu haknya yang menikahi bukan yang dinikahi yaitu jelas yang menikahi adalah sang suami, maka kalau suami berkenan, dia bisa menolaknya. Ketiga adalah sabda Rasul saw: “sesungguhnya tholaq itu haknya sang pemberi mahar” diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari Ibn Abbas, pada suatu hari telah datang seorang laki-laki pada rosululloh saw dan berkata, wahai rosul, majikanku menikahkanku dengan budak perempuannya, tapi lama kemudian dia menginginkan untuk memisahkan aku dengan budak perempuannya, maka rasulpun menuju kearah mimbar dan berkata: ”Wahai manusia, apa urusanmu menikahkan budak laki-lakimu dengan budak perempuan lalu kamu ingin memisahkannya? Sesunguhnya tholaq itu hak sang pemberi mahar”.Ibn Qoyyim berkata mengenai hadis ini: di dalam isnadnya ada sebuah ungkapan yang al-qur’an berkebalikan dengan itu, dan Suyuti dalam Jami Shogirnya bahwasanya hadis itu hasan dari riwayatnya Thobrani dari Abbas. Jadi dapat diambil kesimpulan kalau hak yang memberikan tholaq adalah hak suami bukan istri, begitu kata sang Kyai pada wanita yang bertanya padanya dengan penampilan yang berwibawa.


Tidak ada komentar: