Jumat, 13 Februari 2009

Obrolan Anak Perantaun

Obrolan Anak Perantaun
Dunia ini memang penuh dengan berbagai rasa, aku sungguh beruntung dapat merasakan rasa tersebut, walau terkadang harus merasakan berbagai kepedihan yang dirasa dalam hati. Aku merasa, Sang pencipta sangatlah adil dalam memberikan sesuatu apapun, tapi kebanyakan orang tak merasakan akan hal itu.

Aku bersama empat teman serumah(aku, makhasin, jawwada, fuad, dan luthfi) yang notabene sebagai anak perantaun harus siap menghadapi berbagai banyak hal kehidupan, lebih-lebih kita yang notabene sangat jauh dari rumah, terpaksa harus mandiri. Dalam obrolan kita, sering kita sebut-sebut kata minhah(beasiswa), sungguh menarik untuk dibicarakan, masalahnya minhah termasuk pusaka bagi kita. Bagaimana tidak, setiap kita membicarakan makanan, bayar uang flat(kos), beli buku dan lain sebagainya, pasti kita akan merujuk ke minhah. Maklum, kan kita lom bisa cari uang ndiri. Sering kita dibuat sedih maupun bahagia dengan minhah, bahagia ketika waktu kita menerima uang minhah, sedih ketika uang minhah itu tidak cukup untuk menapaki alur perjuangan ini. (Wah, kelihatannya melebihkan-lebihkan nih,he...!)

Kalau kita orang kaya, itu mungkin tak kan berpengaruh. Akan tetapi kita itu tak seperti orang yang ketika menginginkan sesuatu, tinggal bilang apa mau dia, terus terkabulkan, kita tak seperti orang yang ketika menginginkan untuk keliling dunia, hanya dengan beberapa hari tak masalah baginya, tapi kita adalah anak-anak yang masih mengandalkan uang kiriman dari rumah, setiap kita butuh sesuatu untuk melengkapi kebutuhan sehari-hari, pasti kita akan meminta uang dari ortu.

Malam ini adalah malam yang kesekian kalinya dalam perbincangan kita untuk membahas keuangan bulanan kita, mulai dari uang belanja makanan, uang bayar kos, kebersihan, listrik dan lain-lain yang cukup menyusahkan kita. Lebih-lebih kita disini cuman berlima, tak cukup iuran kita perbulan. Padahal sebelum-sebelumnya iuran kita perbulan sangatlah cukup, bahkan kalau istilah jawanya “iso turah-turah” masalahnya dulu kita berdelapan terus kitapun mendapat bantuan sembako dari orang mesir, tapi sekarang, aduhhhh!!akhir bulan terpaksa harus bisa ngirit sengirit-ngiritnya(Opo iku,koyo majas hiperbola ae,he...!), semenjak adik kelas yang tertunda keberangkatannya ke Kairo, lembaran hitampun terukir(moso enek lembaran hitam?ya adalah,masa ya ada donk)

Sesuai tradisi, kita harus berpencar setiap tahun ajaran baru, dimana kita tinggal di kesekretariatan yang tiap ajaran baru harus berganti dengan adik kelas untuk ditempati mereka. Inilah lembaran hitam kita, lembaran yang menyusahkan kita setiap bulanya, sembako perbulan kita pun tak cukup, tapi tak apalah, dengan ini justru kita merasakan pengalaman yang luar biasa, kita jadi banyak belajar untuk bisa mengatur uang pembelanjaan kita seirit mungkin, kita bisa sharing bersama, dan saling berbagi dalam cerita yang akan kita kenang untuk selamanya.

Musallas,11 Februari 2009

Tidak ada komentar: