Suara Realita Kawan
Pagi ini 28 Juli 2009, ku berjalan menyusuri salah satu pantai yang punya kesejukan tersendiri, kesejukan yang menyerupai alam pertiwi Indonesia. Aku coba mengingat bagaimana aku dulu bermain bersama kawan di pantai pertiwi, seolah sama seperti yang aku alami sekarang.
Setelah sampai kesana, aku lihat-lihat sekitar pantai, ternyata teman-temanku pergi ngga tahu kemana, tak ada satupun yang aku lihat. Aku coba berdiri sambil menekukan tangan kedadaku sambil menatap ke ujung laut yang ada di depanku ini, aku nikmati karunia yang Alloh kasih ma orang-orang di Dimyat ini.
Baru beberapa menit, aku palingkan tatapanku ini ke sekitar pantai, siapa tahu ada yang aku kenal. Akhirnya kulihat juga mereka. Terus aku kesana sambil duduk bareng, foto-foto bareng ala orang”keren”(ihiks..lagi so keren sih). Karena panasnya suasana pantai, akupun cari tempat untuk berteduh. Sungguh sejuk banget euy, angin pantai yang sepoi-sepoi menyentuh kulit lembutku ini, terasa kesegaran yang luar biasa(suegere rek..kata orang Jawa Timur).
Sambil duduk dibawah kayu yang meneduhkanku dari panas matahari, dan juga pandanganku ke arah pantai yang kebanyakan orang-orang mesir menikmati air laut Dimyat, temenku si Arman(nama samaran), mendekatiku dan ikut berteduh di bundaran kayu yang aku duduki disana. Aku coba membuka pembicaraan ma Arman tentang suasana pantai di Dimyat ini. Selain itu juga aku iseng tanya tentang hasil ujian, ternyata dia dah tahu hasilnya(enak yah, kalau aku lom tahu euy, lom turun nilainya, mudah-mudahan lulus ya rabb).
Sambil menikmati kesejukan di pantai Dimyat, akupun ngobrol seputar remaja, aku mulai dengan kata-kata yang tak asing lagi, “Man dah punya pacar lom?”. Arman bilang gini, “durung iks, padahal aku wis melu organisasi nang ngendi-ngendi tapi ijek ra ndue”. Aku hanya bisa tertawa menyindir(maklum aku dah punya cewe euy). Terus si Arman menceritakan tentang cewe yang suka ma dia di Indonesia. Dia adalah anak kyai, singkat cerita ketika ujian semester dua tahun 2009 tinggal 3 mata kuliah, si Arman nelpon si Dia tuk kasih semangat, tak taunya ketika lagi enak-enak ngobrol bapaknya datang, terus cewenya nyuruh Arman tuk ngomong hubunganya ma bapak si cewe. Bapaknya bilang ma si Arman katanya suruh ngomong ma ibunya saja. Sebelum nelpon ibu si cewe, Arman nelpon ke orang tuanya dulu tuk minta saran, orang tuanya bilang” ra usah Man, mengko malah koe kisinan”. Akhirnya semenjak itu, si Arman tidak lagi kontak ma dia.
Lalu aku ngajak Arman tuk pulang ke kos-kosan yang kita kontrak sekitar pantai itu. Di perjalanan aku bilang ma Arman kalau aku bersyukur, aku dapat beasiswa dari BZ(Baitu Zakat) dari Kuwait. Dimana dengan beasiswa itu, aku sangat-sangat terbantu dalam urusan biaya. Armanpun kemudian cerita kalau di Bu’us(asrama mahasiswa orang-orang asing di Kairo) hanya dapat beasiswa yang sangat mepet kalau di hitung-hitung buat biaya perbulan yaitu 92 Le. Bahkan kalau musim ramadhan tiba, dia bersama teman-teman yang lain harus survai dulu ke masjid-masjid yang memberikan bantuan uang. Dia ngasih tahu ke aku kalau ramadhan kemarin dapat 700 Le.
Dari tulisan ini penulis hanya ingin mengingatkan kalau kita sebagai manusia harus bisa pandai bersyukur, tidak hanya Arman yang kesusahan dalam hal biaya hidup tinggal di Kairo, tapi masih banyak saudara-saudara kita yang lebih sulit dalam hal biaya hidupnya. Tak boleh kita hanya bersenang-senang menikmati kiriman dari orang tua atau sejenis dari itu, tapi bagaimana kita gunakan uang pemberian ortu kita dengan sebaik-sebaiknya, mumpung masih dikasih ma ortu, kalau sudah disuruh nyari sendiri coba, pasti akan shock bagi orang yang pertama kali melakukanya. So, teruslah berjuang, dan gunakan kesempatan yang cemerlang ini sebaik-baiknya.
July 2009, 28